Minggu, 16 Maret 2014



                                                                       SYAJAAH
                                                          Oleh , Ustad Agus Talik S.A g

Mukaddimah

Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang
istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan)
dan at-tafaul (optimisme).

Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena
yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.

Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang
istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa
berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa turunnya surat
Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan
bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi,
beliau menjawab, "Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap
yang kau imani tersebut)."

Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang
yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam
bara api.

Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri
orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan
ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan
keimanannya kepada Allah Taala.

Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya
harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang
penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya
karena mereka berdua tak sudi menuhankan Firaun.

Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan
demikian sulit pula untuk mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.

Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut)
sebagai lawan sifat asy-syaja’ah. Namun sifat khauf thabi’i (alamiah)
yang diadakan Allah di dalam diri manusia sebagai mekanisme pertahanan diri
seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada
di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Taala. Hal tersebut secara
indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s, Ibrahim a.s dan
Muhammad saw.

Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan,
optimisme dan keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin Allah bersamanya
dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa
mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa
dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan
menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.

Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran
Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi
oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan
Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya
juga terlihat pada saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu
Bakar Ash-Shidiq berada di gua Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi
hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika
Abu Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau menenangkannya
dengan berkata, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS
9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan pertolongan melalui
makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat membuat sarang,
begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy yang mengejar
yakin gua itu tak mungkin dilalui oleh manusia.

Realita Dewasa ini

Dunia dewasa ini dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah
hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan
dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn,
yakni cinta dunia dan takut mati. Ya, penyakit wahn-lah yang menyebabkan di
antara umat Islam pun banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani
oleh musuh-musuhnya yakni kaum kufar dan musyrikin.

Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian tentara-tentara pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan
perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan
meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.

Sementara kini umat Islam terpenjara oleh dunia,
begitu cinta dan tertambat pada kenikmatan dunia sehingga begitu takut akan
kematian yang dianggap sebagai pemutus kelezatan dan kenikmatan dunia.

Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah
atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa
ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi
dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup
yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Kemudian banyak pula orang yang tidak berani bersikap jujur atau berterus terang terhadap diri sendiri termasuk menyadari
kekurangan, kelemahan dan keterbatasan diri. Dan sebaliknya berani mengakui
kelebihan, kekuatan dan kemampuan orang lain.

Seorang pengecut biasanya juga tak akan mau mengakui kesalahan. Bersikap keras kepala, mau menang sendiri dan menganggap
diri tak pernah berbuat salah sebenarnya justru akan menguatkan kepengecutan
seseorang yang berlindung dibalik semua sikap tersebut.

Sikap pengecut lainnya adalah tidak mampu bersikap obyektif terhadap diri sendiri yakni berani menerima kenyataan bahwa ada posisi
negatif dan positif dalam dirinya.

Dan akhirnya sifat kepengecutan yang jelas adalah ketidakmampuan menahan nafsunya di saat marah. Salah satu ciri orang bertakwa
adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain (QS. 3:134).
Yang disebut orang kuat adalah orang yang mau menahan dan meredam amarahnya
serta tetap bisa mengendalikan dirinya di saat marah sekalipun.

Jika seseorang bertindak brutal dan mengeluarkan caci maki serta kata-kata kotor, ia justru masuk kategori orang yang pengecut
karena tak mampu mengendalikan diri dan menahan marah.

Macam-macam Syaja’ah

Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur”
atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian yang
didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha
Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan
dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa perhitungan, namun
juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.

Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah (keberanian), yakni:

1. Memiliki daya tahan besar

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar
untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan
karena ia berada di jalan Allah.

2. Berterus terang dalam kebenaran

"Qulil haq walau kaana muuran" (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata
benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad
bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila
kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

3. Kemampuan menyimpan rahasia

Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan
terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan
dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan
bentuk keberanian yang bertanggung jawab.

4. Mengakui kesalahan

Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan,
mencari kambing hitam dan bersikap "lempar batu, sembunyi tangan"

Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf,
bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.

5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya
baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya
ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya
bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua
sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani
akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan
buruk.

6. Menahan nafsu di saat marah

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu
dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya
padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.

Contoh Figur-figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah

Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran.
Slogan tersebut pantas dilekatkan pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah
Rasulullah saw. karena keagungan kisah-kisah perjuangan mereka.

Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya.
Beliau pun berucap dengan kata-katanya yang masyhur, "Walaupun matahari diletakkan
di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan
dakwahku ini."

Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada
diri sepupu dan menantu Nabi saw., Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran
yang sangat beresiko, menggantikan Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui
musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu mereka dikelabui, mereka
pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.

Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda
dengan sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak lantang,
"Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin anak istrinya menjadi yatim dan janda,
hadanglah Umar."

Keberanian mempertahankan akidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama
dalam Islam yang menumbuhsuburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong
satu demi satu selagi ia masih hidup. Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan
akidah dan itu terbukti dengan syahidnya mereka berdua.

Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar (Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab)
adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal lapisan dan strata sosial.

Ada pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak
oleh orangtua mereka karena masuk Islam. Dan akhirnya wanita-wanita perkasa
dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah
binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah, putri Rasulullah saw. yang
menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan laki-laki dalam mempertahankan
kebenaran.

Kiat-kiat Memiliki Sifat Syaja’ah

Dengan segala kesederhanaannya, prajurit muslim Rubyi menemui Panglima besar Persia, Rustum. Pedangnya yang menyembul di pinggangnya
menyaruk-nyaruk bentangan karpet mewah Persia yang digelar. Seolah-olah ingin
berkata, "Aku tak butuh dan tak silau oleh semua kemewahan ini."

Rubyi bahkan berorasi dengan lantangnya, "Kami datang untuk membebaskan kalian dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.
Kami datang untuk membebaskan kalian dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat."

Keberanian, yang ditunjukkan Rubyi adalah buah dari keimanan dan ketakwaannya. Karena ia meyakini hanya Allahlah Yang Maha
Besar dan patut ditakuti, dan manusia sehebat dan sekaya apapun kecil dibandingkan Allah Yang Agung.

Jadi kiat utama untuk memiliki sifat syaja’ah adalah adanya daya dukung ruhiyah berupa keimanan dan ketakwaan yang mantap.
Iman dan takwa ini akan membuat seseorang tidak takut pada apapun dan siapa
pun selain Allah.

Kemudian bermujahadah melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir yang secara manusiawi ada pada setiap manusia.

Berikutnya bisa pula dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Harits yang berkeluh kesah atas
beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan
para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka
tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan
berkata, "Ah... cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang
shaleh terdahulu."

Dan akhirnya kejelasan misi dan visi perjuangan serta senantiasa mengingat-ingat imbalan optimal berupa ampunan dan surga-Nya
kiranya akan memperbesar keberanian dan semangat juang, insya Allah.

Wallahu A'lam

Selasa, 04 Maret 2014

Kisah Nabi Muhammad SAW Menjelang Ajal





Betapa mulia dan indahnya akhlak baginda Ya Rasulullah SAW Mengingatkan kita sewaktu sakratul maut.
'Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah,
"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku".

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.

Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.
Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,

"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?".

"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,"tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. " Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. 
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.


"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali mendekatkan telinganya.
"Uushiikum bis-shalaati, wamaa malakat aimaanukum - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."


Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii!" -
"Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allaahumma sholli 'alaa Muhammad wa'alaihi wasahbihi wasallim.
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Usah gelisah apabila dibenci manusia kerana masih banyak yang menyayangimu di dunia,
tapi gelisahlah apabila dibenci Allah kerana tiada lagi yang mengasihmu di akhirat kelak.